Apotek Redjo

pengumuman | 25/04/2013

       Dulu Manual, Sekarang Buka Website untuk Perluas Pasar Menjadi anak satu-satunya dari tujuh bersaudara yang berlatar belakang teknik, Kirono Santosa, pemilik Apotek Redjo, justru menjadi penerus toko obat sang ayah. Untunglah, bakat berbisnis dan pengalaman sebagai aktivis kampus mempermulus jalannya.

        Nama Redjo yang berarti "Ramai" memang sengaja dipilih sang papa, almarhum 1 Hendra Wiryono atau Liem Toen Hing, untuk toko obat yang dimilikinya. Alasannya sederhana, supaya toko obat yang berdiri pada 1968 itu benar-benar ramai.

       "Waktu itu toko obat baru segelintir saja di Kota Kediri," tutur Kirono Santosa, putra ketiga Hendra Wiryono. Harapan Hendra terwujud. Toko Obat Redjo yang berada di Jl HOS Cokroaminoto itu menjadi dikenal di Kota Kediri. Pelanggannya pun masih bertahan hingga sekarang. Padahal, Hendra dan istrinya, Emiwati, tidak memiliki latar belakang ilmu kesehatan atau medis. Keduanya adalah guru kimia di salah satu sekolah Tionghoa di Kota Kediri.

        Pasangan guru ini memiliki tujuh anak. Dua laki-laki dan lima perempuan. Tetapi, hanya Kirono yang sejak kecil sering menemani Hendra berjualan di toko obat. "Kakak dan adik semuanya sekolah di luar kota," jelas pria 18 tahun ini seraya tersenyum. Sedangkan Kirono menghabiskan masa sekolahnya di Kediri. Mulai SD Santa Maria, SMPN 1 Kediri, sampai SMAN 2 Kediri. Hanya saat kuliah dia memilih fakultas teknik mesin di Universitas Trisakti Jakarta.

         Kakak dan adik Kirono "angkat tangan" saat harus berjualan di toko obat sang papa. "Tidak bisa dan tidak mau," sambungnya kembali tertawa. Padahal kini banyak saudara Kirono yang berprofesi dokter. Sejak SMP Kirono memang sudah pintar berdagang. Mulai menghafalkan nama obat hingga mengetahui manfaatnya. "Awal-awalnya sempat bingung dan susah hafalin," kenang pria yang lahir pada 22 Desember 1965 itu.

         Namun lama kelamaan, karena terus berinteraksi, Kirono hafal banyak obat dan mampu menghadapi konsumen. Karena itu, dia akhimya "dipaksa" pulang ke Kediri oleh Hendra untuk membantunya berjualan. Padahal, begitu lulus dari Universitas Trisakti pada 1989, dia sempat bekerja di perusahaan konstruksi ternama di Jakarta selama empat tahun. Pulang tahun 1993, Kirono benar-benar total membantu papanya. Kemudian pada 2000, toko obat berubah menjadi apotek. Perubahan ini karena campur tangan Kirono. Dia pula yang akhirnya paling banyak mengelola apotek. "Keadaan yang harus memaksa perubahan toko obat jadi apotek, lebih aman," jelasnya.

        Saat perubahan itu, sempat terbersit keinginan Kirono untuk mengganti nama Redjo menjadi Kondang. Tetapi, akhimya keinginan itu urung setelah mendapat pertimbangan dari Balai POM. Nama Redjo pun masih melekat hingga sekarang. Pada tahun 2000 itu pula, Kirono memutuskan kembali ke "habitat" awal sebagai sarjana teknik dengan menjadi dosen teknik di Universitas Nusantara PGRI (UNP) Kediri. Ini tak lain agar ilmu yang didapatnya selama kuliah tidak sia-sia. Berarti, praktis selama hampir 13 tahun, Kirono berada di dunia berbeda. Berkutat dengan obat-obatan di Apotek Redjo dan dosen jurusan teknik di UNP.

        Waktu luangnya kian sempit ketika ia separuhnya harus mengelola apotek setelah ayahnya meninggal pada April 2008. Beberapa perombakan pun dilakukannya. Seperti membuka website apotek dengan nama www. Redjoboy.com, kata boy adalah kependekan dari becouse of you, sebagai ciri khas dari Apotek Redjo. "Mungkin baru Apotek Redjo yang memiliki website sendiri," tuturnya.

          Pemikiran ini memang belum pernah dilakukan ayahnya. Selama ini ayahnya selalu serba manual. Mulai pemesanan, pendataan hingga pengadaan barang. Sedikit pengetahuan tentang obat-obatan yang dibeli. Semua pengetahuan tentang organisasi ini tidak lain karena pengalamannya sebagai aktivis seperti anggota senat saat masih kuliah. Selain membuka website, ayah dari tiga putri, Judith (21), Jennifer [19), dan Justine (16) ini juga menyusun struktur kerja untuk seluruh karyawannya. Itu terpasang jelas di dinding apotek.

          Poin paling penting yang baru ada pada era Kirono adalah sebuah papan putih ukuran 40 x 60 cm yang ada di sisi dalam apotek Kirono menyebutnya, papan informasi, karena hampir semua informasi seperti obat baru, keluhan pelanggan hingga kondisi karyawan ada dipapan itu. "Semuanya terpantau jelas. Jadi kalau ada apa-apa tinggal kontak saya meski saya tidak di apotek," bebernya

          Saat ini, Kirono memiliki 13 karyawan. Delapan di antaranya karyawan lama yang bertahan sejak toko Redjo berdiri. Jumlah karyawan itu diakuinya sudah minimal untuk mengelola apotek. Sebab, semuanya memiliki tugas dan fungsi yang jelas. Ini tidak lain untuk menjamin persediaan dan kondisi obat-obatan yang dijual.

       Seluruh karyawan pun mendapat tugas wajib, yaitu selalu belajar dan menambah pengetahuan tentang obat-obatan. Terpenting setiap karyawan menguasai obat-obatan yang dijual. "Semuanya harus melayani dengan hati sehingga pembeli senang," jelasnya.

        Resep lainnya untuk mengembangkan usaha mulai harga pun tidak boleh melebihi harga eceran tertinggi (HET) dan selalu menambah ragam obat. Bagaimanapun, setiap pembeli obat biasanya sudah mengetahui harga obat yang dibelinya. Pasalnya, obat yang dibeli bersifat berkelanjutan. "Kalau sampai sudah dicap mahal, pembeli tidak akan kembali lagi ke apotek. Akhirnya apotek tutup," pungkasnya.

Kediri, Radar

Tidak ada artikel terkait