Tahun baru menjadi momen panen para pedagang terompet. Tak terkecuali bagi Tarso, perajin asal Wonogiri, Solo yang sudah menetap di Kota Kediri selama 36 tahun. Dia kerap diminta mencarikan kos untuk rekannya sesama perajin dari daerah asalnya.
Ratusan terompet tertata rapi di teras sebuah rumah yang terletak di gang V/B, Kelurahan Bandarlor Kecamatan Mojoroto. Tak hanya diikatkan di tiang penyangga dan atap, terompet berukuran mini, sedang, hingga yang paling panjang juga ditata di lantai teras.
Kerajinan terompet itu siap untuk proses finishing. Ada pula yang masih berbentuk gulungan kertas. Itu merupakan bahan mentahnya. Di ruang tamu, jumlah terompet yang tertata justru lebih banyak lagi.
Ada terompet berbentuk naga, terompet lonjong, ayam, kupu-kupu hingga terompet drot menumpuk hingga memenuhi lebih dari separo ruang tamu. Meski hampir seluruh bagian rumah dipenuhi terompet, dua pria terlihat sibuk membuat beberapa terompet.
Seorang pria yang tak lain adalah Tarso sedang memasang hiasan di gulungan kertas, bentuk inti terompet. Sedangkan seorang pria lainnya tengah sibuk memasang lem di kertas panjang yang digunakan untuk mengaitkan lembaran-lembaran kertas.
"Saya sudah punya stok sekitar 2.500 terompet," kata Tarso membuka perbincangan ketika ditemui Radar Kediri di rumahnya sekitar pukul 13.00 kemarin (18/12).
Terompet-terompet di rumahnya tidak hanya menumpuk pada Desember ini. Sebab sudah sejak Agustus lalu. Pria berusia 57 tahun ini sudah mengebut pembuatan terompet. Setiap hari, tak kurang dari 100 terompet bisa dihasilkannya. Jika sedang fokus, bapak dua anak ini bisa menghasilkan hingga 200 biji terompet.
Momen pergantian tahun selalu menjadi perhatiannya. Sebagai perajin terompet, malam pergantian tahun memang menjadi puncak penjualan terompet. Makanya, jika hari-hari biasa Tarso berjualan mainan dan arum manis di salah satu tempat hiburan di Kota Kediri, sejak Agustus lalu, dia stop jualan. "Sejak Agustus kemarin hanya jualan Sabtu dan Minggu saja. Selebihnya di rumah, bikin terompet," ungkapnya.
Keterampilan yang dikuasai Tarso itu tidak begitu saja didapatkannya. Pria yang sudah menetap di Bandarlor sejak 1977 itu memang bukan warga asli Kota Kediri. Melainkan, pendatang dari Wonogiri, Solo, yang sudah terkenal sebagai kampung perajin terompet.
Tarso memutuskan menetap di Kota Tahu setelah dirinya beberapa kali berjualan terompet di Kediri. "Dulu yang berjualan terompet di sini baru saya. Belum banyak seperti sekarang," bebernya.
Seperti penjual terompet lainnya, awalnya Tarso membawa terompet dari Wonogiri dan dijual di Kediri menjelang tahun baru. Kesuksesan menjual terompet itu pula yang membuat dirinya memutuskan menetap hingga berkeluarga clan memiliki dua anak.
Jika puluhan tahun lalu Tarso memasarkan sendiri terompet buatannya, kini dia tak lagi melakukannya. Setidaknya ada 11 pedagang dari berbagai wilayah Kediri hingga Tulungagung yang mengambil terompet buatannya.
"Dulu yang bikin terompet hanya saya. Sekarang ada beberapa pendatang dari Wonogiri yang juga bikin. Termasuk di Kedungsari, Tarokan, warga lokal tapi belajar bikinnya juga di Wonogiri," katanya.
Apakah tak khawatir bersaing dengan berbagai produk terompet kertas lainnya? Ditanya demikian, Tarso menggeleng. Alasannya, masing-masing orang memiliki pelanggan sendiri. Jadi, produknya akan tetap laku di pasaran.
Apalagi, harga yang diberikan pada pengecer juga berbeda. Dia memilih mematok harga yang relatif murah. Misalnya, terompet lonjong dijual Rp 3.000 hingga Rp 4.000 per biji. Kemudian, terompet yang berhiasan khusus dibanderol Rp 10 ribu.
Tarso tak risau meski minggu depan sudah mulai berdatangan puluhan pedagang dari Wonogiri yang sama-sama menjual terompet. Bahkan, sebagai warga asli Wonogiri, dia seringkali membantu mencarikan kos-kosan buat mereka. "Ada yang kos di Kaliombo dan di Bandarkidul," imbuh pria yang seringkali ditelepon untuk mencarikan tempat tinggal itu.
Yang membuatnya resah justru serbuan terompet plastik dari Cina yang selama beberapa tahun ini menjadi pesaing terompet kertas. Meski dari segi harga terompet Cina lebih mahal, tetapi terompet ini tetap bisa berbunyi saat terkena air hujan. Itulah yang membuat terompet kertas sering kali kalah bersaing dengan terompet plastik.
Makanya, jika beberapa tahun lalu Tarso bisa menghabiskan 3.500 biji terompet setiap malam pergantian tahun, tahun 2013 ini stok terompetnya tak habis. Dari total 3.500 biji yang disiapkan, masih tersisa 300 biji. "Ya akhirnya dijual eceran," keluhnya.
Pergantian tahun ini, Tarso berharap cuaca cerah. Sehingga, seluruh terompet yang disiapkannya bisa laku terjual. Meski sudah puluhan tahun di Kediri, masih terselip asa Tarso untuk pulang ke kampung halamannya di Wonogiri, Solo.
"Saya ingin bertani sambil jualan mainan. Nunggu kalau si bungsu lulus kuliah dulu," katanya sambil memandang putrinya yang kuliah semester III di salah satu perguruan tinggi swasta di Kediri itu.