Tri Sudaryati (kiri) dan Minarsih (kanan) bertugas di ruang isolasi RSUD Gambiran, Kota Kediri.(ist)
Tri Sudaryati (kiri) dan Minarsih (kanan) bertugas di ruang isolasi RSUD Gambiran, Kota Kediri.(ist)

KEDIRITIMES - Seiring penyebaran wabah corona atau covid-19 yang terus meluas hingga jumlah pasien  bertambah, kiprah sekaligus nasib tenaga medis, termasuk para perawat, pun menjadi perhatian.

Ya, di balik hiruk pikuk penanganan wabah corona, ada yang bekerja dalam senyap. Dengan perlindungan diri seadanya, mereka mempertaruhkan keselamatan demi menolong pasien yang terjangkit corona. Karena itu, banyak sudah yang melontarkan kekaguman, menyebut mereka pahlawan.

Mereka adalah petugas medis yang menangani pasien secara langsung di ruang isolasi dengan risiko terpapar virus corona yang mematikan. “Tidak semua perawat mau ditempatkan di sini karena risikonya yang tinggi,” kata Minarsih, 47 tahun, perawat di ruang isolasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gambiran, Kota Kediri.

Sejak wabah corona melanda Kota Kediri, RSUD Gambiran langsung membentuk tim dan sarana perawatan pasien yang terpapar penyakit itu.

Minarsih salah satunya. Sebelum wabah terjadi, Minarsih bertugas di bagian pengendalian pencegahan infeksi (PPI). Dia dipindahkan ke bagian isolasi pasien penyakit menular untuk membantu penanggulangan covid-19.

Meski banyak rekannya yang menolak tugas tersebut, Minarsih justru menerima. Sebagai seorang perawat, dia mengaku tak boleh menolak tugas kemanusiaan, apa pun risikonya, termasuk kemungkinan terpapar virus mematikan dari pasien yang dirawatnya.

Menurut Minarsih, tugas yang diemban ini tak sebanding dengan penderitaan dan ketakutan pasien yang terindikasi corona. “Setiap kali dimasukkan ruang isolasi, wajah mereka sangat tegang dan depresi. Bahkan ada yang nyaris bunuh diri karena stres,” katanya.

Di sinilah peran Minarsih dan tenaga medis di ruang isolasi dibutuhkan. Setiap hari mereka membangun komunikasi dan membangkitkan semangat pasien untuk sembuh.

Ironisnya, tugas berat tersebut tak diimbangi dengan pemenuhan alat perlindungan diri (APD) yang mereka pakai. Padahal setiap saat Minarsih dan teman-temannya berpotensi terpapar virus corona saat berinteraksi di ruang isolasi.

“Kami terpaksa mengurangi intensitas keluar masuk ruang isolasi karena keterbatasan APD. Di zona merah, APD hanya bisa dipakai sekali dan langsung dibuang,” kata Minarsih.

Sebagai gantinya, Minarsih membentuk grup WhatsApp yang terdiri dari petugas ruangan dan pasien. Sehingga komunikasi bisa dilakukan secara daring tanpa harus masuk ke dalam ruang isolasi.

Selain menghilangkan kebosanan dan menyampaikan motivasi, grup WA itu juga dipakai untuk melaporkan kebutuhan pasien seperti cairan infus yang habis.  

Melalui WA pula, para pasien bisa saling berinteraksi dan mengenal satu sama lain. Mereka membangun semangat sembuh bersama-sama.

Sementara itu, Tri Sudaryati, perawat berusia 54 tahun yang menjadi rekan Minarsih di ruang isolasi, memberikan kesaksian sama. Perawat senior ini bahkan mengalami tekanan mental di luar tempat kerjanya sejak merawat pasien corona. “Mereka mengucilkan saya karena dianggap bisa menularkan virus. Padahal tidak sesederhana itu,” katanya.

Dahsyatnya pemberitaan tentang penularan corona secara langsung turut memojokkan para perawat. Tak hanya oleh tetangga di rumah. Beberapa rekan kerja di rumah sakit turut menjaga jarak dengan para tenaga medis yang bertugas di ruang isolasi. Mereka tak mau tertular oleh virus mematikan yang hingga kini belum ditemukan obatnya tersebut.

Langkah ekstrem bahkan dilakukan Minarsih terhadap keluarganya. Sampai sekarang, Minarsih tak pernah menceritakan tugasnya merawat pasien corona kepada anak-anaknya. Dia tak ingin mereka berpikir jauh dan ketakutan atas profesi yang dijalani ibunya.

“Saya juga terpaksa tidur terpisah dengan anak saya agar tidak terpapar. Sejak bertugas di ruangan ini, secara otomatis saya masuk dalam kategori ODR (orang dalam risiko),” kata Minarsih.

Untuk menjaga keluarganya, Minarsih menerapkan protokol ketat tentang kebersihan. Setelah selesai jam bertugas, dia berganti baju di ruangan khusus sebelum meninggalkan rumah sakit. Setiba di rumah, Minarsih langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan keramas serta mencuci pakaiannya. Baru setelah itu, dia bisa mendekati anak-anaknya tanpa bisa berpelukan.

Dengan kondisi tersebut, baik Minarsih maupun Tri Sudaryati harus tetap membangun optimisme pasien di rumah sakit. Mereka juga selalu siap menjadi tempat curhat saat kondisi pasien sedang drop atau sedih.

 “Semua pasien harus dalam kondisi baik, nyaman, dan bahagia. Karena itu modal awal untuk sembuh,” kata Sudaryati.

Jika diperlukan, para perawat ini juga merangkap menjadi kurir untuk mengantarkan titipan dari keluarga pasien. Karena keterbatasan APD, pengantaran itu tak bisa dilakukan setiap saat. Ini berbeda dengan pasien di ruang perawatan lain yang bebas keluar masuk tanpa membutuhkan perlengkapan khusus.

Karena itu, ketika ditanya tentang keinginan terbesar mereka saat ini, Minarsih dan Tri Sudaryati berharap mendapat bantuan APD agar bisa menjalankan tugasnya dengan maksimal. Mereka juga berharap wabah ini segera berakhir dan bisa menjalani kehidupan normal bersama keluarga.

“Dibutuhkan ketulusan, keikhlasan, dan percaya pada Allah untuk mengemban tugas ini. Kalau Allah tidak menghendaki kami tertular, Insya Allah aman,” pungkas mereka.

Saat ini terdapat 12 tenaga medis yang bertugas di ruang isolasi RSUD Gambiran. Mereka bekerja secara bergilir selama 24 jam untuk memastikan pasien yang dirawat baik-baik saja.