Pemkot Kediri Akan Bantu

pemerintah | 25/03/2015

* Ketabahan Supingah Tinggal di Gubuk Reot Ngronggo, Kota Kediri

Di usia senjanya, Supingah tak bisa tinggal bersama keluarga besarnya. Beralasan cinta kampung halamannya, dia nekat tinggal di gubuk bersama anaknya yang mengalami gangguan jiwa. Jauh dari anaknya yang lain, yang kini menetap di luar Jawa.

Sebuah gubuk berukuran 3 x 3.5 meter berdiri di tengah perkampungan Lingkungan Ngrong­go, RT01/RWIV Kelurahan Ngronggo. Kota Kediri. Jika tak diperhatikan seksama, orang pasti menyangka gubuk beratap seng dengan dinding gedek (anyaman bambu) itu bukan tempat tinggal manusia.

Sebab, bentuknya memang tak lebih baik jika dibanding kandang hewan ternak di sekitarnya. Berlantai tanah, dinding gubuk itu tak menutup rapat bangunan. Ada beberapa sisi yang dibi­arkan terbuka lebar. Anyaman bambunya pun hanya menutup bangunan ala kadarnya.

Warga sekitar mengetahui gubuk itu ternya­ta tempat tinggal Supingah. Itu karena perem­puan tua tersebut sering keluar masuk di sana. Sekitar pukul 10.00 Senin (23/3) lalu, perem­puan berbaju hijau itu sedang lesehan di teras rumah Suratmi, tetangga depan rumahnya.

Bagaimana Supingah bisa betah tinggal di gubuk reot? Ditanya demikian, dia hanya menjawab dengan senyum. "Matio lek nek kene (meski meninggal asal tetap di sini),’’ kata warga lanjut usia (lansia) kelahiran 13 Januari 1940 itu sambil menata beberapa helai rambutnya yang keluar dari ikatan

Sebenarnya, Supingah pernah diboyong anaknya yang tinggal di Tarakan, Kalimantan Utara. Pun demikian dengan anaknya yang tinggal di Ujung Pandang. Tetapi, perempuan berusia 75 tahun itu tidak kerasan “Ora iso urip nek omah dempet-dempet ngono kuwi. Ora krasan (nggak bisa tinggal di peruma­han. Nggak betah)," ujarnya Makanya Supingah pilih tetap ting­gal di Kediri. Di tanah seluas sepuluh ru itu Supingah membangun rumah semi permanen berukuran 5x7 meter. Dana pembangunan di an­taranya berasal dari tiga anaknya yang menetap di luar Jawa.

Tetapi, rumah yang relatif nyaman bagi Supingah itu tak bertahan lama. Sejak Slamet, anak ketiganya, mengalami gangguan jiwa beberapa tahun lalu, dia merusak rumahnya sendiri. “Temboknya digempur sedikit demi sedikit akhirnya rusak semua,” sam­bung Suratmi, tetangga Supingah.

Setelah rumahnya rusak, Sup­ingah lantas membuat gubuk kecil untuk tempat tinggal. “Bocah-bocah (anaknya di luar Jawa) eruh. Ora tak omongi,” urainya beralasan tak mau diboyong ke Kalimantan karena pilihannya tinggal di gubuk itu. Sebenarnya, tetangga Supingah juga iba dengan kondisinya. Be­berapa kali mereka swadaya mem­bangun ulang dengan mendirikan bangunan semi permanen. Tetapi setiap kali dibangun langsung dirusak oleh Slamet.

Supingah yang renta tak berani melawan. Sebab, seringkali dia dipu­kul, ditendang, hingga suatu kali kepalanya pernah dipukul benda keras hingga harus dijahit. Jika Slamet mengamuk, tak hanya Supingah yang takut. Tetangga seki­tar pun tak berani menolong. Sebab, pria berusia 40 tahun itu tega melu­kai siapa pun yang mendekat.

Dengan kondisi demikian, Sup­ingah harus rela menjadi korban penganiayaan anaknya sendiri. “Wis to, kamplengono aku. Ora opo-opo. Aku pancen duduk mbokmu (sudahlah, pukuli aku. Tidak apa-apa. Aku memang bukan ibumu)," lanjut ibu empat anak itu menirukan ucapannya pada Slamet saat gangguan ji­wanya kambuh.

Seperti Rabu (18/3) lalu, nyawa Supingah nyaris melayang kare­na terbakar akibat ulah Slamet. Hujan deras malam itu membuat Slamet yang tinggal di reruntuhan rumahnya yang beratap tembikar, menyusul Supingah di gubuk. Dipan besi karatan yang diberi alas kasur lipat kumal dengan le­bar selatar satu meter itu dipakai berdua. Karena ukuran tubuh yang panjang kaki Slamet mengguling­kan lampu ublik di ujung dipan.

Wuss! Dalam waktu sekejap ka­surnya terbakar. Beruntung Sup­ingah terbangun. Meski ada ke­bakaran, Slamet tetap santai. Dia juga tak mau memadamkan api. Akhirnya Supingah keluar. Dia mengambil air di sumur pompa di samping gubuknya. Selama ini, sumur yang tak diberi penutup mencukupi di sekelilingnya itu juga digunakan sebagai kamar mandi Slamet dan Supingah.

Penderitaan Supingah yang ting­gal di gubuk bersama anaknya itu akhirnya sampai juga pada Wakil Wali Kota (Wawali) Lilik Muhibbah. Perempuan yang juga Ketua Muslimat NU Kota Kediri ini mendapat laporan dari ketua ranting Muslimat Ngronggo. Sedianya, Supingah akan diaju­kan mendapat bantuan rumah layak huni dari Pemerintah Pusat. Tetapi karena program itu tak kunjung jelas, Ning Lik sapaan wawali mengajak Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Trans­migrasi (Dinsosnakertrans) Dewi Sartika ke sana, Senin lalu.

Wawali Kota Kediri menginstruksikan agar Sup­ingah mendapat bantuan rumah tidak layak huni dari pemkot. Tak hanya itu, Ning Lik juga memer­intahkan agar Slamet dibawa ke rumah sakit jiwa (RSJ) untuk menjalani pengobatan. "Kasihan kalau tidak segera ditangani,” tuturnya. Tak hanya itu, Ning Lik juga memerintahkan Supingah segera diuruskan kartu Jamkesda. Sebab, lansia itu sudah sering sakit-sakitan. Ditambah lagi tempat tinggalnya memang tidak layak.

Ditanya tentang pembangunan rumah Supingah, Dewi men­gatakan, pihaknya akan membuat telaah staf pada Wali Kota Abdullah Abu Bakar. "Pembangunannya bisa tahun ini. Kalau Slamet nanti akan dibawa ke RSJ La­wang (Malang) atau Surabaya," tuturnya. Mendengar kabar dirinya akan mendapat bantuan, Supingah senang. Dia juga mengikhlaskan anaknya menjalani pengobatan. Apalagi, selama ini Slamet kerap menyiksa dirinya. “Alham­dulillah. Mboten nopo-nopo. Kula ikhlas,” katanya saat dim­intai izin Dewi tentang pengo­batan anaknya.