Zayda Shafira Ramadhanty patut berbangga. Kemampuannya di bidang matematika mendapat pengakuan di tingkat internasional. Dia meraih medali perunggu di ajang International Mathematical Olympiad (IMO) di Chengdu, Tiongkok, akhir Juli lalu.
“Alhamdulillah bisa mendapat medali perunggu," ucap Zayda saat ditemui wartawan koran ini di MTsN 2 Kediri, pekan lalu (6/8). Senyum tipisnya terkembang dari bibir. Lalu, sejenak mata gadis berkerudung putih itu menerawang. Beberapa kali tangannya memegang kening. Mencoba mengingat olimpiade yang baru diikutinya akhir Juli lalu.
Bagi gadis yang tinggal di Dusun Nambaan, Desa Tamanan, Kecamatan Ringinrejo ini, olimpiade matematika, sains, atau yang sejenis bukanlah hal baru. Sebagian bahkan dijuarainya. Akan tetapi, olimpiade yang baru diikutinya 27-29 Juli lalu sungguh berbeda daripada sebelumnya.
Bukan hanya karena levelnya yang sudah internasional dan lokasinya yang di Chengdu, Tiongkok. Akan tetapi, juga karena perjuangannya yang panjang untuk menuju ke sana. Ada banyak rangkaian seleksi yang harus diikutinya. "Seleksi di tingkat regional Jatim sudah dimulai sejak April kemarin," ujar putri tunggal pasangan Saifudin dan Indah Palupi ini.
Dalam seleksi yang bertempat di SMA Tebu ireng, Jombang itu, Zayda dinyatakan lolos.
Dia pun maju ke tingkat nasional sebelum kemudian harus menjalani karantina di Klinik Pendidikan MIPA (KPM), Bogor.
Selama lima hari, 1 -5 Juli lalu Zayda bersama puluhan peserta olimpiade dari tingkat kelas tiga SD hingga kelas IX SMP harus menjalani berbagai latihan soal. "Setiap hari jadwalnya penuh hanya untuk latihan soal," katanya
Setelah itu, mereka diperbolehkan pulang untuk mempersiapkan keberangkatan ke Chengdu, Tiongkok pada 26 Juli. Itu adalah minggu-minggu terakhir Ramadan. Makanya, saat yang lain bersiap menyambut lebaran Zayda harus belajar keras untuk mempersiapkan diri sebagai peserta IMO.
Bahkan hingga berangkat dan sampai di Chengdu, dia terus saja membuka-buka bukunya. Meskipun setiba di hotel, panitia memberi kelonggaran kepada semua peserta. “Boleh istirahat atau belajar. Tapi, saya belajar ringan saja,” kenang Zayda yang menjadi satu-satunya utusan Indonesia untuk kelas VII tersebut.
Dia dan anggota delegasi lainnya harus benar-benar berkonsentrasi. Termasuk mengatasi problem batin karena hari pelaksanaan olimpiade bertepatan dengan Lebaran. Mereka harus rela tidak berkumpul dengan keluarga di tanah air pada hari istimewa tersebut. Apalagi di sana tidak boleh bawa HP, jadi ya tidak bias telepon. Akhimya saling hibur saja dengan teman-teman,” bebernya.
Beruntung mereka semua berangkat ke Tiongkok dengan semangat yang sama. Yakni, mengikuti olimpiade sebaik-baiknya. Apalagi, ini bukan kesempatan yang mudah untuk didapatkan. Inilah yang bisa mengalihkan kerinduan untuk berkumpul bersama keluarga saat Lebaran. "Saya memang sudah memendam keinginan ini sejak di SD,” tutur Zayda Saat duduk di kelas VI SD, gadis yang bercita-cita menjadi guru ini sudah mengikuti seleksi IMO untuk tingkat SD. Akan tetapi, saat itu langkahnya harus terhenti di tingkat seleksi regional.
Makanya, begitu lolos mewakili Indonesia di ajang yang diikuti oleh sembilan negara itu, Zayda hanya fokus untuk belajar dan menghasilkan yang terbaik. "Yang nangis setelah salat Id itu malah bu guru. Kalau saya biasa saja” imbuh gadis yang ke Tiongkok tanpa didampingi keluarga maupun guru MTsN 2 tersebut.
Lalu apa tantangan yang dirasa paling berat saat pelaksanaan olimpiade?. “Delegasi tuan rumah,” jawab Zayda. Maklum, Tiongkok memang sering menjadi langganan juara. Mereka kerap meraih emas dalam olimpiade matematika. Apalagi, ini digelar dinegeri mereka sendiri.
Meski demikian, Zayda berusaha tetap percaya diri. Total ada 30 soal yang harus dikerjakan dalam waktu dua jam. Ini meliputi aljabar, teori bilangan, peluang bangun datar, dan beberapa materi lain yang belum diajarkan di kelas VII.
Beruntung dia mengikuti ekstra olimpiade sains nasional (OSN) di madrasah. "Seminggu dua kali kami memberikan bimbingan. Menjelang lomba, bimbingan juga dioptimalkan lagi,” sambung Siti Nurhidayati, pembimbing Zayda.
Bekal itulah yang dirasa cukup berguna. Sehingga meski tidak semua soal dikerjakannya, Zayda masih bisa mengukir prestasi membanggakan. Yakni, meraih medali perunggu. Ini pula yang membuat bangga MtsN 2 Kediri. "Semoga ini bisa menginspirasi siswa-siswa yang lain,” harap Nurhidayati.