Energi jadi salah satu sektor yang jadi perhatian pemerintah dalam paket kebijakan ekonomi tahap delapan ini. Pemerintah berpandangan bahwa diperlukan percepatan pembangunan dan pengembangan kilang minyak di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) Nasional, mengurangi ketergantungan BBM dari impor, sekaligus meningkatkan ketahanan energi nasional.
Agar ada payung hukum yang jelas, maka akan dibuat Peraturan Presiden yang akan menjadi dasar pecepatan pembangunan dan pengembangan kilang minyak tersebut. Tak bisa dipungkiri, permintaan BBM nasional lebih tinggi dari supply domestik yang tersedia, dan permintaan akan terus meningkat terutama untuk sektor transportasi. Selisih permintaan dan penawaran BBM diperkirakan akan terus meningkat sekitar 1,2 – 1,9 juta barel per hari pada Tahun 2025 jika tidak ada penambahan kapasitas produksi.
Pemenuhan kekurangan BBM tersebut dilakukan melalui impor yang tentunya sangat akan mempengaruhi neraca perdagangan nasional. Indonesia belum melakukan pembangunan kilang minyak selama 21 tahun lalu, dimana pembangunan kilang minyak terakhir dilakukan pada Tahun 1994 di Balongan dengan kapasitas saat ini 125 ribu barel perhari. Berangkat dari masalah tersebut, serta agar tercipta ketahanan energi, maka perlu dilakukan pembangunan kilang baru dengan kapasitas 300 ribu barel perhari yang akan dapat membantu mengurangi gap atau jurang permintaan.
Beberapa hal yang jadi fokus pemerintah dalam kebijakan ini adalah yang pertama pembangunan dan pengembangan kilang harus dilakukan dengan menggunakan teknologi yang terbaru, memenuhi ketentuan pengelolaan dan perlindungan lingkungan, dan tentu saja mengutamakan penggunaan produk dalam negeri.
Kemudian memberikan insentif fiskal ataupun nonfiskal bagi terselenggaranya pembangunan dan pengembangan. Pelaksanaan pembangunan dan pengembangan kilang diintegrasikan sedapat mungkin dengan petrokimia. Pembangunan dan pengembangan kilang dapat dilakukan oleh Pemerintah atau Badan Usaha.
Badan Usaha, dalam hal ini baik itu BUMN/BUMD, swasta maupun koperasi, diberikan kesempatan yang sama untuk membangun kilang, dan Pertamina dapat bertindak sebagai pembeli produk BBM yang dihasilkan. Pembangunan dan pengembangan kilang oleh Pemerintah dapat dilakukan baik melalui Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) ataupun penugasan kepada BUMN, dalam hal ini Pertamina.
Apabila KPBU yang dipilih, tentunya dengan berbagai pertimbangan teknis dan finansial, Pertamina akan ditunjuk sebagai penangung jawab dari proyek kerjasama tersebut, termasuk dalam melakukan lelang badan usaha yang akan membangun atau mengembangkan kilang. Disamping itu Pertamina juga ditugaskan untuk membeli BBM yang dihasilkan.
Apabila penugasan kepada Pertamina yang dipilih, maka pembiayaannya dapat dilakukan baik melalui APBN maupun pembiayaan korporasi Pertamina. Beberapa fasilitas pendanaan akan diberikan kepada Pertamina, jika Pertamina ditugaskan untuk membangun dengan pembiayaan korporasi, antara lain: pemberian penyertaan modal negara, laba yang ditahan, pinjaman, baik yang berasal dari dalam ataupun luar negeri, termasuk lembaga keuangan multilateral, serta penerbitan obligasi.
Sampai saat ini pemerintah sudah mengidentifikasi sekurang-kurangnya ada 4 (empat) kilang yang saat ini beroperasi (Cilacap, Balikpapan, Balongan, dan Dumai) untuk diperbaiki, dan 2 (dua) kilang baru (Bontang dan Tuban) untuk dibangun.
Jika kilang minyak baru selesai dibangun ditambah dengan upgrade kilang yang ada atau eksisting, maka proyeksi produksi BBM akan meningkat dari 852 ribu barel perhari pada Tahun 2015 menjadi 1,9 juta barel perhari pada Tahun 2025.
Dampaknya kebutuhan BBM semaksimal mungkin dapat dipenuhi dari dalam negeri dan dengan sendirinya mengurangi ketergantungan impor serta akhirnya ketahanan energi nasional pun meningkat. Yang lebih penting, jika kebutuhan BBM bisa dipenuhi dari produksi kilang dalam negeri, maka harga jual BBM kepada dunia usaha dan masyarakat dapat ditekan lebih murah.