Kepedulian Agus Suharmaji terhadap Penanaman Seni Budaya sejak Dini

pengumuman | 11/02/2013

     "Sejak kecil saya tidak lepas dari dunia seni. Di bangku SMP saya sudah bisa main karawitan," beber Agus ketika ditanya tentang kecintaannya pada dunia seni,

     Ditemui Radar Kediri dikantomya, pemilik nama lengkap Agus Suharmaji tersebut terlihat asyik membaca buku berjudul Serat Babad Kadhiri. Mengenakan kemeja batik merah bata, dia tampak bugar siang itu (8/2).

      Bagi pria asli Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare ini, segala hal yang berhubungan dengan seni dan budaya selalu menarik untuk diperhatikan. Termasuk buku yang membahas tentang sejarah Kediri yang sedang dibacanya saat itu.

      Padahal dilihat dari riwayat karirnya sebagai PNS, Agus tak pernah bersentuhan dengan seni dan budaya secara langsung. Bahkan, ketika setahun di dinas kebudayaan, pariwisata, pemuda, dan olahraga (disbudparpora) pada 2010, Agus menjabat sebagai kepala bidang (kabid) olahraga.

      Demikian pula saat dimutasi ke dinas pendidikan (disdik) pada Maret 2012. Se­cara berurutan dia menjabat kabid ketenagaan selama tiga bulan sebelum dipindah menjadi kabid pendidikan menengah (dikmen) selama empat bulan.

      Kemudian, pindah menjadi kabid pen­didikan non formal informal (PNFI) sejak 6 Oktober 2012 hingga sekarang. Tetapi, meski tak bersentuhan dengan budaya dan seni, dia tak pernah lepas dari kesenian. "Tetap ikut bermain wayang atau seni lainnya," lanjut bapak dua anak ini.

          Makanya, ketika menjabat kabid PNFI yang di antaranya membidangi pendidikan anak usia dini, Agus seolah mengobati dahaganya. Dia langsung membuat berbagai event yang membangkitkan kecintaan anak pada budaya. Mulai lomba dalang cilik, menembang, hingga permainan tradisional yang diikuti oleh para guru. Agus lantas menggagas untuk memasukkannya dalam permainan siswa PAUD dan TK di Kota Kediri.

         Mengapa Agus getol melakukan itu?. Rupanya, suami Endah Sri Mumpuni ini mempunyai pandangan tersendiri tentang dampak pemahaman seni dan budaya bagi anak-anak. "Anak yang menguasai seni akan memiliki kehalusan budi. Itu bisa menjadi penangkal berbagai permasalahan remaja yang sekarang terjadi," terang pria yang tinggal di Perum Bumi Asri, Kelurahan Kaliombo, Kota Kediri ini.

          Dia menilai di setiap kesenian dan budaya bangsa Indonesia, mengandung nilai-nilai luhur yang bisa menjadi benteng bagi anak-anak. Mulai dari perilaku hingga pandangan-pandangan mereka terhadap pemecahan permasalahan yang dihadapi.

         Makanya, anak yang mengerti seni, memahami seni dan budaya dengan benar akan cenderung terhindar dari berbagai permasalahan remaja yang sekarang terjadi. "Baik narkoba, tawuran pelajar, dan berbagai permasalahan lainnya," paparnya.

         Agus sudah merasakan secara langsung menggeluti semua jenis kesenian sejak kecil. Duduk di bangku SD, pria kelahiran 10 Agustus 1961 ini sudah akrab dengan pementasan wayang kulit. Berbeda dengan penonton lainnya, Agus memilih duduk di antara para wiyaga. Hal itu membuatnya semakin mencintai wayang kulit. Sehingga, terdorong untuk belajar bermain kendang secara otodidak.

          Duduk di bangku SMP pada 1976, Agus sudah mahir bermain karawitan. Masuk di bangku SMA atau saat itu sekolah pen­didikan guru (SPG) pada 1979, kecintaan Agus pada seni se­makin dalam. Berbagai jenis seni baru dipelajarinya. Mulai tari, kasidah, melukis, hingga seni dekorasi dikuasainya den­gan sangat baik.

          Namun imbas dari kemampuannya yang beragam dibidang. seni itu, Agus pernah sakit. Itu karena ia kelelahan saat menjadi panitia pentas seni perpisahan kakak kelas di SPG pada 1980. Kala itu, Agus bertugas membuat dekorasi panggung. Kemudian, dia ikut kelompok paduan suara.

        Jika teman-temannya bisa langsung istirahat setelah mengikuti paduan suara, Agus muda harus segera ganti baju. Sebab, dia langsung bermain kulintang. Usai bermain kulintang, dia masih harus ganti baju lagi un­tuk main karawitan.

         Belum cukup sampai di situ, Agus juga harus kembali ganti busana muslim. Sebab, dia ha­rus pentas bersama kelompok kasidah. Terakhir, Agus bermain kendang dalam pementasan musik modern. "Pertunjukkan yang terus menerus membuat saya kecapekan dan langsung jatuh sakit," kenangnya sambil tertawa. Pentas kesenian juga membuat Agus dan teman-temannya memberi kontribusi pada sekolahnya. Hal itu terjadi saat SPG Mardi Tresno, Pare, tempatnya menimba ilmu, runtuh karena lapuk.

           Untuk menggali dana, Agus dan teman-temannya melakukan pementasan wayang orang selama dua hari. Pertunjukan sukses, dana yang terkumpul langsung disumbangkan ke sekolah untuk renovasi. "Itu benar-benar berkesan sampai sekarang," imbuhnya.

         Hal itulah yang membuat ke­cintaan Agus pada seni terpelihara hingga sekarang. Makan­ya, meski bidang pekerjaannya ini tak berhubungan langsung dengan seni dan budaya, semangatnya untuk menumbuhkan kecintaan pada seni dan budaya tak pernah padam.

         Agus berharap dinas pendi­dikan tempatnya bekerja seka­rang, bisa segera berubah men­jadi dinas pendidikan dan kebudayaan seperti beberapa tahun lalu. "Saya lebih sepakat jika pen­didikan dan kebudayaan adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan, Penyatuan keduanya akan membuat proses pengajaran lebih maksimal lagi," tegasnya.

Kediri, Radar