Wijaya Sport dan Musik

pengumuman | 18/04/2013

Desain Lebih Catchy, Pelanggan jadi Tersegmentasi Menjadi penerus dari toko yang didirikan sang ayah pada akhir 1970-an, Wijaya Sport yang dirintis Andy Soeprapto justru berkembang lebih pesat. Di tangan anak sulungnya, Wiyono, estafet bisnis itu berjalan mulus.

Siang itu (16/4), toko yang terletak di bagian ujung barat Jalan Brawijaya ini terlihat ramai. Banyak pengunjung datang untuk mencari berbagai peralatan olahraga. Mulai raket badminton, raket tenis, sepatu, hingga kostum olahraga. Banyak pula yang memesan piala.

Si empunya toko tampak bersahabat. Mengenakan t-shirt oranye, senyum tak pernah surut dari bibirnya. Pria yang rambutnya sudah memulih ini dengan ramah melayani pembeli yang datang. "Oke ya terima kasih," sapanya kepada  pelanggan usai bertransaksi. Kepada setiap pelanggan, keramahan selalu ia tunjukkan. Apalagi, banyak yang sudah ia kenal sejak lama. "Ini memang kuncinya. Supel sama mereka," beber An­dy Soeprapto, pemilik toko dengan nama 'Wijaya Sport & Music' itu. "Tadi enak, bukan hanya datang lain beli, tapi kita benar-benar kenal," lanjutnya.

Keramahan itu pula yang ditunjukkan Wiyono Soeprapto, 35, putra sulungnya, yang kini membuka toko sendiri, Wijaya Sport 2, di sebelah baratnya. Lokasinya hanya selisih satu bangunan. Itu adalah pengembangan toko yang dirintis Andy.

Didirikan sejak 1985, Toko Wijaya Sport & Music sendiri sebenarnya juga pengem­bangan dari Toko Star di Jl Dhoho yang sama-sama menjual perlengkapan olah­raga. Toko Star didirikan oleh Wang Heon Siang dan Lie Tyai Yen, kedua orang tua Andy, pada akhir 1970-an.

Toko itu kini dikelola oleh kakak Andy. Besar di keluarga dengan tradisi kewirausahaan Tiongkok yang kuat. Andy yang menjadi bungsu dari empat bersaudara pun tergerak untuk membuka toko sendiri. Saat itu usianya baru 33 tahun. "Tapi, waktu itu yang terpikir hanya menjual peralatan rumah tangga seperti sendok, piring, dan sebagainya," kisahnya.

Namun, ternyata tak mudah mencari supplier barang-barang kebutuhan rumah tangga itu. Akhirnya, atas saran sang ayah, Andy diminta mendirikan toko perlengkapan olahraga juga. Lokasinya dipilih Jl. Brawijaya. Kebetulan, sang ayah mempunyai aset di sana. Di situlah akhirnya Andy merintis toko peralatan olahraganya. "Saya kasih nama Wijaya dari nama belakang jalan ini. Diambil belakangnya saja supaya mudah diingat," sambungnya.

Toko itulah yang atas kerja kerasnya kemudian justru berkembang lebih besar daripada toko rintisan orangtuanya. Pa­ra penggemar olahraga yang sering hunting perlengkapan banyak yang menjadikannya sebagai rujukan. Selain keramahan, kunci lain kelanggengan Toko Wijaya Sport terletak dari strategi pricingnya. Andy berani bersaing soal harga. Itu pun bukan fixed price.

Andy menggunakan konsep tawar-menawar, khas strategi sejumlah pebisnis di Jl. Dhoho. "Kalau harganya pas, terus pelanggannya nggak cocok, kan langsung pergi. Makanya, di sini masih bisa ditawar," bebernya.

Konsep dan strategi bisnis itu pula yang kini diteruskan Wiyono yang sejak 2011 lalu mem­buka Toko Wijaya Sport 2 di sebelah baratnya. Sebelumnya, Wiyono ikut membantu mengelola Toko Wijaya Sport & Mu­sic yang dirintis Andy. Di toko itulah dia dan ketiga adiknya, Fenny, 33, Evin, 29, dan Fergus, 24, dididik Andy untuk mengelola bisnis.

Fenny kini membuka toko onderdil di Jl. Panglima Sudirman. Evin berbisnis di Jakarta. Sedangkan, si bungsu Fergus masih ikut mengelola Wijaya Sport & Music bersama Andy. "Ini bentuk pengembangan. Di sini displaynya luas," ungkap Wiyo­no yang siang itu mengenakan hem lengan pendek warna hijau motif garis-gar is.

Toko barunya itu adalah hasil take over toko peralatan pancing yang dulu berdiri di sana. Bangunannya direhab total. Kemudian, digunakan untuk menampung barang-barang yang di toko lama banyak yang menumpuk.

Toko lama yang dikelola Andy memang disesaki oleh barang-barang. Sehingga, banyak yang akhirnya tidak terpajang. Inilah yang dilihat Wiyono sebagai peluang. Di tangannya, Wijaya Sport 2 didesain lebih catchy. Semua ditata rapi. Berbagai merek sepatu dipajang di dinding sebelah kanan. Dinding sebelah kiri dipenuhi raket bulu tangkis dan raket tenis. Adapun dinding tengah untuk mendisplay berbagai kaus olah­raga.

Barang-barangnya juga dipilih yang branded. "Makanya, sales pun tahu. Kalau dari Nike, Adidas, beloknya pasti sini. Ka­lau yang lokalan ke toko bapak," ujar Wiyono. Karena itulah, pe­langgan dua toko tersebut lama-kelamaan menjadi tersegmentasi. Mereka pun tidak hanya dari Kediri, tapi juga luar kota. "Banyak juga yang pesan. Dari Tulungagung, Nganjuk, dan sekitaran sini. Ini juga baru ada pesanan dari Caruban," lanjut alumnus Jurusan Akuntansi Universitas Surabaya (Ubaya) angkatan 1997 ini.

Sejak masih bersekolah di SMPN1 Kediri, Wiyono memang dikenal rajin. Setiap pulang sekolah ia langsung ikut ayahnya berjualan di toko hingga sore. Dari situlah banyak pengalaman dan pelajaran yang didapat.

"Yang paling saya ingat dari bapak, kalau berdagang itu yang paling penting adalah jujur. Kalau barangnya jelekya bilang jelek, kalau barangnya bagus ya bilang bagus. Itu kuncinya," tandasnya.

Meski dari display terlihat le­bih modern, manajemen dan strategi bisnis yang diterapkan Wiyono masih sama dengan Andy. Terutarna soal pricing. Soal harga, dia tetap fleksibel. "Ndak isa kalau pakai fixed pri­ce. Pelanggan pasti lari. Memang lebih repot, tapi ini semua demi pelanggan juga," aku ayah satu anak ini lantas tersenyum.

Kediri, Radar