Di saat banyak warga gundah karena kenaikan harga elpiji, empat rumah di Lingkungan Pagut, Blabak, Pesantren anteng saja. Sebab, mereka menggunakan bahan bakar alternatif. Biogas dari tinja dan kotoran sapi. Sayang, meski energi ini gratis belum banyak yang mau.
Sanitasi masyarakat (sanimas) Matahati di Lingkungan Pagut, kelurahan Blabak, kecamatan Pesantren, terlihat sepi. Maklum Senin sore (6/1) itu suasana mendung. Hujan rintik yang turun menjelang malam membuat penghuni belasan rumah di sepanjang gang kecil di lingkungan tersebut enggan keluar.
Apalagi mengunjungi sarana mandi, cuci, kakus (MCK) yang dibangun di dekat permukiman mereka. Padahal, biasanya setiap sore banyak warga yang mendatangi sanimas ini.
Selain mencuci baju, banyak juga yang mandi atau sekadar buang air besar di sana. Beberapa saat Radar Kediri berada di fasilitas umum (fasum) tersebut, hanya terlihat seorang perempuan tua yang berwudu di sana.
Sepintas, sanimas di Pagut hampir sama dengan sanimas lain yang banyak dibangun di perkampungan kota Kediri. Yang membedakan adalah keberadaan tangki bulat dengan diameter 1,5 meter di halaman sanimas.
Untuk menampung air? Bukan. Sebab, letaknya tidak di ketinggian. Melainkan di tanah. Bentuknya pun menarik, dicat senada dengan wama keramik Sarimas sehingga terkesan bersih.
Namun ternyata, tangki yang terbuat dari semen itu digunakan menampung cairan tinja dan kotoran sapi. Tangki difungsikan sebagai digester. Digester merupakan pembangkit biogas, yakni gas campuran metana (CH4), karbondioksida (CO2), dan gas lain yang didapat dari hasil penguraian material organik seperti kotoran hewan atau kotoran manusia oleh bakteri pengurai.
"Dari sini nanti gas dialirkan melalui pipa-pipa ke empat rumah warga yang tinggal di sekitar sini," tutur Lukman, koordinator pemanfaatan gas di lingkungan Pagut, Blabak.
Mulai kapan warga memanfaatkan tinja dan kotoran sapi menjadi gas? Rupanya rutinitas itu sudah cukup lama, sekitar enam tahun. Usai keberadaan sanimas di lingkungan mereka, warga berinisiatif memanfaatkan kotoran manusia dari kakus sanimas itu sebagai gas dengan membuat digester.
"Kalau dipakai gas kan tidak gampang penuh septictank-nya" imbuhi Lukman.
Setelah pemanfaatan gas dari kotoran manusia berjalan beberapa bulan, akhirnya warga menambahkan kotoran sapi yang dimasukkan ke digester untuk diproses pula menjadi gas. Hasilnya, gas yang semula hanya kecil menjadi besar. Sehingga, cukup untuk memasak empat rumah yang ada di sana.
Kebetulan, di sekitar sanimas ada tiga warga yang beternak sapi. Masing-masing peternak itu dengan suka rela memasukkan adonan kotoran sapi dengan air ke digester untuk diproses menjadi gas. Rutinitas tersebut berlangsung selama bertahun-tahun hingga tak terasa sudah menjadi kebiasaan.
Sebenarnya, lanjut Lukman, gas dari tinja dan kotoran sapi itu bisa dimanfaatkan oleh lebih banyak orang lagi. Tetapi, sejak beberapa tahun lalu hanya empat rumah saja yang memanfaatkannya. "Yang lainnya jijik," beber pria berusia 37 tahun ini sambil tertawa.
Bahkan, dari empat rumah itu, tak semua anggota keluarganya mau mengonsumsi makanan yang diolah dengan gas 'khusus' tersebut Sri Widayati, istri Lukman, menyambung, ada satu rumah yang neneknya memasak dengan elpiji sendiri karena tak mau makan dengan gas dari tinja dan kotoran sapi.
"Sebenarnya gas yang keluar sama saja. Biru dan tidak bau. Tapi mereka telanjur jijik," kata Widayati.
Perempuan berusia 33 tahun ini juga ikut merasakan dampak dari rasa jijik sebagian warga terhadap makanan hasil olahan gas tinja ini. Dia mencontohkan saat di rumahnya ada kegiatan arisan atau kumpul-kumpul kegiatan lainnya.
Dari puluhan ibu-ibu yang berkumpul di rumahnya, ada beberapa orang yang tidak mau memakan sajian yang dihidangkan. Alasannya jijik karena diolah dengan gas dari tinja. "Biasanya makanannya tak dimakan. Dibiarkan saja," bebernya.
Perempuan berambut panjang ini sudah berusaha memberi penjelasan terkait pemanfaatan gas ini. Tetapi, tetap saja tidak banyak warga yang berminat menggunakannya. Padahal, jika mau memakai gas tersebut, Widayati meyakinkan ada puluhan ribu uang yang bisa dihemat setiap bulannya.
Jika dibandingkan saat masih memakai gas elpiji, Widayati bisa menghabiskan empat tabung dalam sebulan. Sementara dengan memanfaatkan gas tinja ini, dia bisa menghemat sekitar Rp 60 ribu dalam sebulan.
Apalagi, warga yang berniat memakai gas itu tak dikenakan biaya apapun. Mereka hanya diminta mengalirkan gas ke rumah dengan membuat saluran pipa. Selebihnya, gratis.
Kecuali bagi 19 rumah yang memanfaatkan sanimas Matahati. Mereka dikenakan biaya Rp 5.000 setiap bulannya untuk perawatan sanimas. "Kalau gasnya gratis. Nggak bayar sama sekali," tegas Widayati.