Kerap Terjun ke Lapangan, Pahami Beban Psikologis Pasien
Tidak hanya merawat dan mengobati pasien dengan berbagai penyakit. RS Baptis juga menangani para korban kejahatan asusila. Termasuk anak-anakyang trauma. Tak cuma duduk di belakang meja, tim crisis center RS ini bahkan mendatangi rumah korban.
Siang itu (20/1), suasana rumah sakit (RS) di Jalan Brigjen Pol. I.B.H Pranoto, Kota Kediri tampak ramai. Lalu lalang perawat dan pengunjung pasien mewarnai lobi gedung instalasi gawat darurat (IGD).
Telah berdiri sejak 1957, HS Baptis ini baru saja mendapat gelar juara 1 kategori Social Responsibility Project. RS di Kelurahan Bangsal, Kecamatan Pesantren ini terpilih dalam ajang lndonesia Hospital Management Award (IHMA).
Kompetisi tersebut digelar oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) pada 9 November 2013. Penghargaan diberikan di Jakarta Convention Center.
RS Baptis memenangi kompetisi ini setelah mengajukan makalah berjudul 'Crisis Center untuk Kekerasan Seksual’ berkat laporan karya tulis tersebut, rumah sakit ini mampu menyisihkan 180 peserta dari seluruh RS di Indonesia, baik itu swasta maupun pemerintah.
Hingga kini, Crisis center RS Baptis sudah berjalan satu setengah tahun. Crisis center memiliki tempat rangkaian pelayanan. Di antaranya mencegah (edukasi), pengaduan, pendampingan, dan pemulihan.
"Pelayanan sosial ini dimaksudkan untuk membantu pemulihan psikologis korban kekerasan seksual," ujar Edi Kurnia, koordinator pelaksana crisis center.
Edi adalah psikolog yang mempresentasikan makalah tersebut di Jakarta. Tercetusnya ide crisis center itu dipicu maraknya pemberitaan tentang kasus pemerkosaan di media cetak maupun media elektronik.
"Kami juga melakukan survei di kepolisian, LPA (lembaga perlindungan anak), dan dinsosnaker (dinas sosial dan tenaga kerja)," papar Edi. Tidak hanya itu, pertemuan dengan tokoh-tokoh di Kediri pun dilakukan.
Debut crisis center tidak semudah membalikkan telapak tangan. Crisis center sempat terkendala dengan sosialisasi kepada masyarakat. "Waktu itu banyak masyarakat yang belum mengetahui apa itu crisis center, sehingga mereka enggan untuk datang," beber Edi.
Walaupun pada awal terbentuknya respons masyarakat masih rendah, namun saat ini crisis center telah mendampingi pemulihan lebih dari 20 korban kasus pemerkosaan. "Mulai dari usia 2 tahun hingga 20 tahun," jelas Edi.
Untuk penanganan korban kejahatan asusila itu, tim crisis center menerapkan metode berbeda kepada setiap pasien. "Tergantung tingkat stres dan usia," terang Edi.
Penanganan anak usia 2 tahun misalnya. Berbeda dengan pasien dewasa. Pada usia tersebut, anak cenderung belum mengerti dampak yang terjadi untuk masa depannya. Mereka hanya memahami bahwa mereka telah disakiti, sehingga muncul perasaan takut atau trauma.
Dalam kasus ini, tim crisis center melakukan pendekatan dengan cara mengajak bermain terlebih dahulu. "Kita mencoba menumbuhkan rasa percaya dirinya, dan menghilangkan rasa takut atau trauma dengan permainan-permainan," tutur Edi.
Sedangkan untuk usia remaja atau dewasa, lebih kepada sharing atau diajak ngobrol. Pendekatannya lebih kepada konseling. Harapannya, mereka dapat membangun kepercayaan dirinya, menghargai dirinya sendiri, serta menumbuhkan jiwa pemaaf. "Tujuannya agar mereka bisa hidup secara normal kembali," urai Edi.
Pemulihan pada korban kekerasan seksual memang tidak mudah. Penanganan para korban kejahatan asusila ini akan mengalami tiga fase. Pertama fase shock, kedua transisi, dan ketiga recovery atau pemulihan. "Fase yang rawan, berada pada fase kedua atau fase transisi," jelas Edi.
Pada fase tersebut terdapat dua kemungkinan. Kemungkinannya bisa pulih atau makin memburuk. Untuk itulah, tim crisis center bertugas memastikan konseling berjalan ke arah pemulihan, bukan krisis yang lebih mendalam.
Selain itu, tempat pelayanan bisa dilakukan sesuai dengan permintaan pasien. "Bisa di klinik atau di rumah, kita menyesuaikan kemauan pasien," jelas Edi.
Keberadaan crisis center ini ternyata berhasil meraih nilai sempurna pada tiga kriteria. Di antaranya dampak project yang luas, belum pernah dilakukan rumah sakit lain, serta respons masyarakat yang bagus.
Meski begitu, RS Baptis tidak puas begitu saja. Mereka berniat untuk mengikuti ajang serupa pada tingkat Asia (Asian Hospital Management Award). "Kami berencana mengikuti kompetisi pada tingkat Asia, sekitar bulan September mendatang," kata Edi.
Sementara itu, bagi Direktur RS Baptis dr Hudi Winarso, crisis center di instansi yang dipimpinnya merupakan sarana pelayanan sosial bagi masyarakat. Selain menerima pasien di kantor, seringkali tim crisis center harus mendatangi langsung ke rumah.
Meski menjabat direktur rumah sakit, tak jarang Hudi juga ikut mendatangi pasien langsung. "Seperti yang korban di Semampir itu, saya datang ke rumahnya. Ngobrol pada ibunya. Jadi tahu juga latar belakangnya," bebernya.
Pria yang juga dosen seksologi di Universitas Airlangga ini menyebut, ada banyak perbedaan dari text book dengan fakta di lapangan. Misalnya, untuk kasus pedofilia atau ketertarikan seks pada anak-anak, biasanya dilakukan pada anak orang lain. Tetapi, di Kediri korbannya ada yang anggota keluarga sendiri.
Hal itu pula yang membuat Hudi tertarik turun langsung ke lapangan. Selain ke Semampir, Hudi juga mengunjungi beberapa korban lain. Mulai persetubuhan yang melibatkan anak-anak di Tarokan, hingga korban pencabulan di Jongbiru, dan beberapa daerah lain.
Dari beberapa kunjungan itu, Hudi memahami beban psikologis yang ditanggung keluarga dan korbannya sama besarnya. "Untuk ibu yang Semampir itu dia langsung semaput (pingsan) begitu tahu kalau pelaku (persetubuhan) itu suaminya sendiri. Tentunya beban psikologis yang ditanggung sangat besar," imbuhnya.
Makanya, crisis center di RS Baptis sengaja dibentuk untuk membantu meringankan beban psikilogis para pasien. "Pasien di crisis center tidak kami pungut biaya. Ini (crisis center) sengaja kami dirikan untuk meringankan beban psikologis masyarakat," tegasnya.