Kaget saat Beli Seliter Beras Rp 500 Ribu
Berkesempatan mengunjungi Australia Selatan memberikan pengalaman tak terlupakan bagi Kepala MIN Semampir Emi Rosyidah. Banyak pula hal menggelikan yang dialami kepala madrasah berprestasi nasional 2013 itu saat studi banding di Adelaide tersebut.
Wajah Emi terlihat semringah saat wartawan koran ini menemuinya di ruang kerjanya, Rabu (23/1) lalu. Tak terlihat gurat kelelahan meskipun dia baru selesai mengajar di kelas.
Ya, meski menjadi kepala madrasah, perempuan cantik tersebut masih tetap harus mengajar langsung siswa-siswanya.
Selain tuntutan profesi, itu menjadi bagian dari dedikasinya sebagai pendidik. Meski cukup menguras tenaga, tak boleh ada gurat kelelahan yang mengemuka. Apalagi sampai memengaruhi emosi. Sebab, hal itu akan memengaruhi pengajarannya di depan kelas.
Komitmen seperti ini pula yang dipelajarinya saat studi banding di Islamic College of South Australia, Adelaide, 15-21 Desember 2013 lalu. "Di sana, tidak sembarang orang bisa menjadi guru. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi," ujarnya.
Syarat tersebut antara lain tidak boleh bersentuhan dengan kriminal. Selain itu, seorang guru harus memiliki pengetahuan di bidang kesehatan dan memiliki sertifikat konseling. Sebab, guru tidak sekadar bertugas mengajar. Melainkan, juga harus bisa menjadi penolong bagi siswanya yang sakit. Serta, bisa menjadi konsultan saat siswanya memiliki masalah.
"Ini menjadi kenangan dan pembelajaran bagi saya dan rekan guru lainnya," lanjut kepala madrasah berprestasi tingkat nasional Kementerian Agama (Kemenag)2013 ini.
Kepergian Emi ke Negeri Kanguru memang sebagai hadiah dari prestasinya itu. Kegiatannya dikemas dalam tajuk capacity building training atau pelatihan peningkatan kapasitas pegawai. Tujuannya untuk menambah wawasan, pengalaman, dan meningkatkan kemampuan individual guru, kepala madrasah, serta para pengambil kebijakan di kemenag. "Ada 18 orang yang ikut, termasuk saya," kisah perempuan 43 tahun ini.
Selain Islamic College, mereka berkunjung ke sejumlah tempat lainnya. Antara lain Konsulat Jenderal RI, Departement for Education and Child Development, serta Flinders University. Juga, Adelaide High School, Islamic Information Center, Technical and Further Education, dan Adelaide Culture Excursion.
Selama seminggu studi banding itulah banyak pengalaman yang didapatkan. Termasuk yang menggelikan. "Ke mana-mana, kami harus jalan kaki karena tidak ada sepeda motor. Pilihannya hanya naik trail atau jalan," ungkap Emi.
Itu dilakukan saat mereka tiba di lokasi yang dituju. Turun dari bus yang menjemput di apartemen, mereka harus berkeliling lokasi dengan berjalan kaki. Padahal, luas areanya bisa puluhan hektare. Seperti Islamic College itu.
Tak hanya soal kendaraan. Meski sudah pernah ke luar negeri seperti Singapura, tetap saja soal makanan bukan urusan gampang bagi Emi. Karena itu, selama di sana, Emi memilih memasak sendiri di apartemen. "Orang Jawa bilang, meski makan roti sebanyak apapun, jika belum makan nasi, belum kenyang," lanjut ibunda Cholid Aulawy Mubarok, 17, ini.
Hanya, tingginya nilai dolar membuat alumnus Universitas Muhammadiyah Surabaya ini harus pandai-pandai mengatur keuangan agar uang sakunya cukup. Apalagi, dia sempat dibuat kaget saat berbelanja di sana. Seliter beras setara dengan Rp 500 ribu. Sementara, seikat sayuran bisa puluhan ribu.
Sistem belanja di mal pun sempat membuat Emi bingung. Sebab, pembeli hanya berhadapan dengan mesin saat membayar di kasir. "Setelah ambil barang, bayarnya di mesin itu. Saya nggak tau caranya," kenangnya sambil tertawa.
Lepas dari itu semua, Emi mengagumi pendidikan di Australia Selatan. Perhatian pemerintahnya sangat besar. Sistem yang dijalankan di tiap lembaga pun memiliki keunikan. Seperti di Islamic College of South Australia. Memiliki murid dari 38 negara, toleransi sangat dijunjung tinggi di sana. "Sekolah ini sangat menghargai perbedaan latar belakang budaya murid-muridnya," tuturnya.